Dari hasil investigasi pengalaman di perbankkan dan pencarian informasi yang saya lakukan selama ini, maka didapat kesimpulan bahwa :

1. Hutang kartu kredit dan KTA bersifat tidak mengikat para pemegangnya dan tidak ada Undang-undangnya, tidak diwariskan, tidak dapat dipindahtangankan (artinya tidak bisa ditagihkan kepada orang lain) ,tidak boleh menyita barang apapun dari anda,surat hutang tidak boleh diserahkan kepada pihak lain atau diperjualbelikan, dsb.

2. Ada klausul yang disembunyikan oleh pihak penerbit kartu kredit bahwa jika pemegang kartu kredit sudah tidak mampu membayar maka hutang akan ditanggung penuh oleh pihak asuransi kartu kredit visa master. bahkan untuk beberapa bank asing tanggungan penuh asuransi itu mencapai limit 500 juta.

3. Adalah oknum bank bagian kartu kredit yang menyerahkan atau bahkan melelang tagihan hutang kartu kredit macet itu ke pihak ketiga atau debt collector untuk ditagihkan kepada pemegang kartu kredit yang macet. dari informasi yang didapat dari para mantan orang kartu kredit bank swasta dan asing, maka sebenarnya uang itu tidaklah disetorkan ke bank karena memang hutang itu sudah dianggap lunas oleh asuransi tadi. Jadi uang yang ditarik dari klien pemegang kartu kredit yang macet itu dibagi dua oleh para oknum bank dan debt collector. Jadi selama ini rakyat dihisap oleh praktek bisnis ilegal seperti ini yang memanfaatkan ketidaktahuan nasabah dan penyembunyian klausul penggantian asuransi hutang kartu kredit.

4. Surat kwitansi cicilan hutang dari klien ke pihak debt col pun banyak yang bodong alias buatan sndiri dan bahkan surat lunas pun dibuat sendiri dengan mengatasnamakan bank.

5. Bahkan dijakarta dan cimahi, saya menemukan kasus dimana ada 1 orang (cimahi) telah melunasi hutangnya 5 tahun lalu sebesar 10 juta kepada pihak kartu kredit BNI 46. Namun bulan agustus 2009, dia didatangi oleh debt coll dan memaksa meminta surat lunas dari bank tersebut. Kemudian bulan september 2009, dia didatangi lagi oleh pihak debt col yang membawa surat tagihan sebesar 10 juta! Dua kali lipatnya. Akhrnya dia terpaksa membayar karena mengalami kekerasan dan tindak pidana serta ketakutan. Dari info yang saya dpt, kemungkinan ada permainan antara orang IT bank penerbit kartu kredit dan pihak debt coll untuk memanfaatkan kebodohan masyarakat. Kasus kedua dialami oleh teman saya sendiri dijakarta. Pada tahun 2005 dia sudah melunasi hutang sebesar 3 juta ke kartu kredit mandiri di tahun 2007. Lalu dia tidak memperpanjang kartunya lagi alias berhenti menggunakan kartu tersebut. Sehingga otomtatis dia tidak menerima kartu perpanjangan dan surat tagihan lagi. Namun tahun 2009 dia menerima tagihan lagi dan didatangi oleh debt collector mandiri dengan tagihan sebesar 6 juta! Dua kali lipat. Padahal tahun 2007 sudah dilunasi. Aneh memang. Apakah trend semacam ini sudah menjadi cara yang biasa dipakai oleh oknum bank kartu kredit dengan para debt collector di Indonesia? Membuat rakyat jadi miskin, padahal hutang kartu kredit sudah ditanggung penuh oleh asuransi visa master.
 
This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
 

Interpol mengeluarkan tujuh notice yang bisa disebar ke seluruh anggotanya
 


1. Perang Vietnam (1957 - 1975) merupakan aib bagi bangsa Amerika Serikat. Mengapa tidak, perang ini telah membuat Amerika Serikat babak belur, baik luar maupun dalam. Di medan perang, tentara AS yang sangat perkasa di Perang Dunia ke-2 benar-benar dibuat tak berdaya oleh keuletan tentara Vietnam Utara (NVA) dan milisi yang biasa disebut Vietcong (VC). Meski tentara AS telah mengembangkan persenjataan yang sangat canggih (penggunaan rudal air-to-air adalah yang pertama kali di dunia digunakan dalam suatu peperangan), tetap aja mereka tak berdaya menghadapi taktik gerilya yang diterapkan NVA dan VC. Gara-gara taktik gerilya itu, AS harus mengeluarkan dana perang yang sangat besar untuk mendukung tentara AS di Vietnam. Dan itu menimbulkan protes keras di dalam negeri sendiri. Gelombang protes silih berganti menuntut pemerintah menarik pasukan AS dari Vietnam. Perang yang berlangsung selama 18 tahun yang merupakan perang terlama yang pernah dialami oleh AS. Dan tahukah Anda, Ho Chi Minh, Pemimpin Besar Vietnam Utara ternyata belajar menggunakan taktik gerilya dari bukunya Abdul Haris Nasution yang fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya ini menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West Point, Amerika Serikat.

2. Perang Jawa atau lebih dikenal dengan Perang Diponegoro ( 1825-1830 ) ternyata dipicu oleh hal yang sederhana, yaitu penancapan tonggak-tonggak pembuatan jalan rel kereta api. Pada masa itu, Belanda tengah giat-giatnya membangun rel kereta api yang melewati daerah Tegalrejo di Jawa Tengah. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro marah luar biasa, dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Namun penyebab perang tersebut sebenarnya merupakan akumulasi semua permasalahan yang ada, seperti pajak yang tinggi, campur tangan Belanda dalam urusan istana Yogya, hingga permasalahan ketidakpuasan di kalangan istana itu sendiri.

3. Sampai sekarang tidak ada yang tahu pasti kapan terjadinya Perang di Kurukshetra. Pertempuran tersebut tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya, sehingga kadang-kadang disebut terjadi pada "Era Mitologi". Beberapa peninggalan puing-puing di Kurukshetra (seperti misalnya benteng) diduga sebagai bukti arkeologinya.Para sarjana berusaha mencari tahu pada tahun berapa sebenarnya perang di Kurukshetra terjadi. Mereka menggunakan catatan dalam Mahabharata, memperhitungkan posisi benda langit, menggunakan sistem kalender, bahkan sampai melakukan analisa radiokarbon. Ada yang memperkirakan perang besar itu terjadi pada tahun 900 SM. Pertempuran Sepuluh Raja, pertempuran antara Raja Bharata bernama Sudas dan perserikatan sepuluh suku yang muncul dalam Rgveda, dipercaya sebagai asal mula mitologi perang di Kurukshetra terjadi. Beberapa arkeolog India mencoba mencari tahu kapan sebenarnya perang di Kurukshetra terjadi, seperti penelitian belanga yang ditemukan di Ganges. Penelitian radiokarbon menunjukkan artifak tersebut berasal dari periode 800 - 350 SM.

4. Dalam lintasan sejarah, selain perang Salib (the crusade), mungkin belum ada tragedi yang begitu dahsyat dampak jangka panjangnya bagi peradaban dunia. Perang ini telah melibatkan seluruh kekuatan Barat-dalam hal ini Kristen-melawan Imperium dinasti Abbasiyah-dalam kaitannya dengan Islam. Perang ini terjadi dari tahun 1099 sampai 1291 M sehingga merupakan perang terbesar dan terlama sepanjang masa. Dampaknya pun sangat luar biasa hingga kini. Peristiwa runtuhnya gedung WTC (11/8) adalah bukti jejak-jejak dampak dari perang salib tersebut. Padahal perang tersebut lebih banyak mengarah pada unsur politisnya daripada unsur keyakinan. Agama akhirnya dijadikan alat pembenaran demi melegalisasi perang tersebut.
 
Ketika sedang bertugas dan dalam keadaan berkumpul, biasanya anggota S.W.A.T team lebih memilih untuk berkomunikasi dengan menggunakan hand signal. Pemilihan hand signal ini adalah untuk mencegah terjadinya penyadapan radio team yang dapat mengacaukan keseluruhan misi.

Selain itu, suara yang dikeluarkan para personil ketika berbicara melalui radio juga dapat beresiko terjadinya kebocoran operasi. Berikut akan dibahas beberapa hand signal yang telah di-standard-isasikan oleh S.W.A.T forces.
Picture
Picture
Picture
Picture
 
Kita mungkin sudah sering melihat adegan Film aksi di Televisi, ketika seorang pembela kebenaran berjibaku mencoba mengalahkan musuhnya dengan menggunakan senjata api. Sekali tertembak oleh sebuah peluru kecil tersebut, seseorang dapat langsung jatuh tersungkur. Nah, penasaran bukan bagaimana sih sebenarnya pistol itu bekerja ?, kebetulan sekali ada teman yang memberi tahu tentang artikel ini. Silahkan menyimak.

Senjata Api ringan (dalam hal ini revolver) merupakan alat bantu mekanis yang berfungsi menembakkan satu atau sejumlah proyektil menuju target yang diinginkan, bekerja berdasarkan prinsip fisika dengan mengaplikasikan teori mekanika pegas. Komponen utama dari senjata api terdiri atas :

1. Hammer atau striker. Berfungsi sebagai pemukul.
2. Laras (barrel). Berfungsi sebagai pemandu peluru agar melesat lurus saat ditembakkan.
3. Pelatuk. Sebagai pengontrol momen penembakan.

Semua komponen tadi pada intinya merupakan suatu rangkaian mekanisme yang berfungsi untuk mendukung mekanisme penembakan proyektil.

Sedangkan proyektil adalah bagian dari suatu sistem yang disebut cartridge, beroperasi dengan bantuan senjata api berdasarkan azas teori Kinematika dan Hidrodinamika gas. Konstruksi cartridge terdiri atas rangkaian :
Picture
1. Peluru (bullet)
Terbuat dari logam solid (biasanya Timah) yang berfungsi sebagai proyektil penghantam target.

2. Selongsong (case/shell)
Berfungsi sebagai induk dari keseluruhan sistem cartridge.

3. Propelant
Sebagai sumber bahan bakar gas pendorong. Teknologi awal yang diterapkan pada senjata api, umumnya memakai bubuk mesiu hitam (black powder) yang menghasilkan sisa pembakaran 55% gas dan 45% asap.

Namun semenjak ditemukannya komposisi bubuk mesiu yang hampir keseluruhan residunya adalah gas minus asap (smokeless powder) oleh Paul Vieille pada tahun 1884, mesiu hitam sudah tidak digunakan lagi.

Kandungan senyawa dalam propelant yang dikenal dengan sebutan Primex ini adalah :
Picture
0-40% nitroglycerin,
0-10% dibutyl phthalate,
0-10% polyester adipate,
0-5% rosin,
0-5% ethyl acetate,
0.3-1.5% diphenylamine,
0-1.5% N-nitrosodiphenylamine,
0-1.5% 2-nitrodiphenylamine,
0-1.5% potassium nitrate,
0-1.5% potassium sulfate,
0-1.5% tin dioxide,
0.02-1% graphite,
0-1% calcium carbonate,
dan sisanya adalah nitrocellulose

4. Percussion cap atau umum disebut Primer
Senyawa logam yang sangat sensitif memantikkan api bila terkena hentakan. Komposisinya adalah Timah azide dan Potasium klorat yang ditanam dalam perunggu.

Saat pelatuk ditekan, hammer akan terangkat ke belakang. Pegas yang ditanam pada gagang pistol, kemudian mendorong hammer ke depan dan menghantam primer.
Picture
Hantaman dari hammer tadi memantikkan api pada primer, hingga memancing ledakan gas yang mampat akibat terbakarnya mesiu di dalam cartridge. Gas bertekanan tinggi inilah yang kemudian mendesak peluru terlepas dari selongsong dan melesat melewati laras senjata.

Meskipun terkesan sederhana, dibutuhkan presisi yang amat tinggi dalam merakit senjata ini. Kesalahan kecil saja dapat mengakibatkan kecelakaan fatal.
http://aatblog.wordpress.com/2010/04/13/cara-kerja-pistol/
 
Picture
 
  Siapa menyangka.. film Drakula yg ada adegan terbakar apabila terkena sinar matahari, dan film Ghostbuster yg ada adegan penangkapan dan penembakan hantu menggunakan peralatan elektronik.. ..ternyata semuanya itu berdasar.

Malah, beberapa kepercayaan yg dianggap khurafat dalam masyarakat kita seperti meletakkan gunting besi disamping mayat atau menggantung cermin didepan pintu sebenarnya bisa dibuktikan secara sains untuk menghindari gangguan hantu ato jin.

Penyelidik yg juga Dekan Fakultas Sains Warna Universal, Universitas Perobatan Antarbangsa Sri Langka; Prof Dr Sir Norhisham Wahab, mengatakan bahwa hantu dan jin tidak memiliki unsur jasad menyebakan mereka tidak dapat dilihat, tetapi kewujudan mereka dapat dibuktikan dengan ilmu sains fisika quantum dan bisa dideteksi dengan teknologi gelombang.

“Hantu dan jin wujud secara tidak nyata kerana tidak terikat kepada jisim, gravitasi bumi serta bebas daripada ikatan karbon, molekul dan atom. Berbeda ngan manusia yang terbentuk daripada partikel atom atau unsur yang menyusun semua benda.

“Hantu dan jin bagaimanapun termasuk dalam ghaib nisbi dan bisa diukur dg menggunakan gelombang bunyi dan gema,” kata Prof Dr Sir Norhisham Wahab yang mendalami kajian dalam bidang ini selama sembilan tahun.

Katanya, apabila kajian sudah memahami bagaimana unsur hantu dan jin dari sudut fisik, usaha terpenting yaitu membantu manusia menghindari gangguan jin dan hantu dapat dilakukan pembuatan penawar dan pemulihan menggunakan teknologi.

Dr Norhisham berkata, jin dan hantu terdiri daripada unsur gelombang, mereka dapat menguasai ruang dan waktu didalam tubuh manusia yang mampu memberi/menyebabkan dampak negatif terhadap kesehatan hingga ke tahap mental.

Beliau berkata, untuk merawat gangguan jin dan hantu, kaedah pemulihannya adalah dengan mengambil kembali ruang dan waktu pada tubuh atau organ manusia yang diresap jin atau hantu.

Usaha memancarkan gelombang untuk merawat gangguan makhluk halus juga sebenarnya tidaklah sesukar seperti yg kita bayangkan, tidak perlu peralatan menyerupai senjata, mesin yang besar sebaliknya gelombang bisa ditangkap dalam medium seperti air dan unsur yg sesuai.

“Kami menciptakan alat radionik yaitu teknologi yg merekam 99 frekuensi gelombang berdasarkan 99 getaran tenaga atom di dalam sukros dan pesakit hanya perlu memakan pil itu secara berterusan untuk memancarkan gelombang ke dalam tubuh,” katanya.

Sesuatu yang menarik adalah teori drakula akan terbakar jika terkena cahaya matahari adalah benar. Hantu memiliki gelombang tidak seimbang, dan cahaya matahari berfungsi menyeimbangkan gelombang alam. Apabila gelombang tidak seimbang terkena cahaya matahari, ia akan musnah karena gelombangnya menjadi seimbang dan hantu itu akan terbakar.

“Besi mampu memerangkap gelombang buruk/negatif dan hantu tidak menyukai medan listrik, jadi konsep hantu ditembak dengan alat listrik untuk diciderakan dan disimpan dalam kotak besi seperti filem Ghostbuster adalah benar.

“Begitu juga dg amalan meletakkan gunting besi dekat mayat kerana besi mampu menangkap atau menarik muatan listrik positif pd seseorang apabila seseorang itu meninggal dunia.

“Cermin mampu menyerap cahaya termasuk gelombang elektromagnetik yang memiliki kesan radiasi yang bisa mengganggu gelombang hantu dan jin. Perkara2 seperti ini bukan kurafat tetapi kita perlu memahami konsepnya,” katanya.

Suatu fakta ironis adalah kebanyakan manusia takut hantu walaupun pd hakikatnya, hantu juga takut berhadapan dengan manusia karena penglihatan manusia memiliki foton cahaya yang cenderung mengeluarkan atau memancarkan elektron untuk membentuk ion positif.

“Hantu juga terbentuk dari ion positif dan apabila ion positif bertemu dengan ion positif dalam kesatuan tenaga elektrik, ia mampu menciderakan atau menghindarkan mereka,” katanya.

Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences...#ixzz1ZoM2OkeU
 
Oleh : Letjend (Purn) Z.A. Maulani
(Mantan Kepala BAKIN)
Pengertian Dasar
Intelligence is knowledge, demikian secara generik menurut kamus. Jargon militer mengartikan – intelligence is foreknowledge. – kemampuan “weruh sadurunge winarah”. Meski intelijen diharapkan weruh sadurunge winarah, tatkala garis pertahanan Bar Lev Israel di Gurun Sinai hancur berkeping-keping pada ofensif Oktober 1973 oleh serbuan yang mendadak dari jenderal Sazely dalam Perang Ramadhan, orang hampir-hampir tidak bisa percaya bahwa badan intelijen Mossad yang legendaris itu ternyata tidak memiliki kawruh akan adanya ofensif di hari raya Youm Kippur sesuai dengan reputasinya yang digembar-gemborkan selama ini.

Ceritera tentang intelijen yang tertangkap basah, yang diperdaya oleh lawannya, yang bobol, bukan hanya dialami oleh Mossad dan Aman (badan intelijen pertahanan Israel) yang konon sakti mandraguna, tetapi dialami juga oleh badan-badan intelijen kondang dunia betapa pun handal dan canggihnya.

Sejarah keberhasilan yang legendaris dari raid “Tora, Tora, Tora” oleh sayap udara dari armada Kekaisaran Jepang yang melibas habis kapal-kapal armada pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbour pada bulan Desember 1941 dan menjadi pemantik Perang Pasifik, merupakan suatu operasi intelijen yang mempermalukan Amerika yang sungguh sangat monumental. Kejadian sedemikian tetap berulang berkali-kali, bahkan di penghujung abad ke-20 ini ketika badan-badan intelijen sudah makin sophisticated.

Ketika menjelang Natal pada 24 Desember 1979 sembilan divisi Uni Soviet, yang terdiri dari divisi berlapis baja ke-5, ke-54, ke-103, ke-104, lalu divisi mobil udara ke-105, serta divisi infanteri bermotor ke-66, ke-201, ke-357 dan ke-360, terdiri tidak kurang dari 45.000 orang prajurit melancarkan serbuan besar-besaran menyeberangi perbatasan Tajikistan menyerbu dan menduduki Afganistan, tiga badan intelejen Amerika Serikat paling canggih –-CIA, DIA (Defense Intelligence Agency) dan NIA (National Intelligence Agency)-– yang diawaki dengan personil yang paling terlatih dan paling berpengalaman, diperlengkapi dengan sarana penyadap elektronika dan pemantau satelit yang mampu mengawasi tiap jengkal permukaan bumi pada tiap saat, tiba-tiba saja oleh keberhasilan pendadakan itu tampak menjadi badan-badan intelijen paling konyol di dunia. Harap diingat, sembilan divisi bukanlah jumlah kekuatan yang kecil yang begitu saja dapat lolos dari pengamatan.1)

Contoh lain lagi. Ofensif Argentina pada tanggal 2 April 1982 terhadap kepulauan Falkland, atau Malvinas kata orang Argentina, adalah juga ceritera nyata betapa sebuah lembaga intelijen paling bergengsi seperti MI-6 Inggeris tertangkap basah tidak mampu mengantisipasi serangan dadakan tersebut sebelumnya. Jadi, badan-badan intelijen, yang paling canggih, paling berpengalaman, dan paling bergengsi seperti Mossad, CIA, MI-6, bahkan KGB sekalipun, ternyata bukanlah lembaga-lembaga dewa yang serba tahu dan serba bisa. Bahwa intelijen sebagai lembaga harus mampu menjalankan empat fungsi utamanya, yaitu –-to anticipate, to detect, to identify, and to forewarn-– secara mumpuni, memang itulah yang diharapkan.

Maka dari itu, ketika Pemerintah Orde Baru pada waktu yang lalu menginstruksukan untuk membangun “posko-posko kewaspadaan” guna mengantisipasi terhadap berbagai kemungkinan adanya dadakan kerusuhan sosial, perintah semacam itu tak pelak lagi merupakan suatu sindiran gaya Jawa terhadap komunitas intelijen, terutama dalam menjalankan keempat fungsi utama yang disebutkan di atas tadi. Kalau tidak, untuk apalah pula “posko-posko kewaspadaan” itu, meski kelemahan itu tidak terletak sebagai tanggung jawab badan-badan intelijen an sich. Dalam hal ini aparat pemerintah lainnya perlu diperiksa juga akan peran dan tanggung jawabnya, terutama berkenaan dengan efektivitas dari intelijen fungsional. Sehubungan dengan intelijen tersebut, tokoh guru peperangan gerilya Che Guevara memperingatkan dari dalam belantara Colombia, bahwa “informasi akan mengalir ke arah ke mana simpati rakyat diberikan.“ Barangkali kaidah besi ini harus menjadi peringatan bagi badan-badan intelijen kita juga.

Dari contoh-contoh di atas tadi, kenyataan empirik memperlihatkan kelemahan-kelemahan alamiah memang akan terus melekat pada badan-badan intelijen kapanpun dan dimanapun, karena kelemahan yang bersifat manusiawi. Kelemahan itu dapat bersifat struktural (artinya, bisa diperbaiki), bisa kultural (sulit diperbaiki). Meski dengan segala kemungkinan akan kelemahan yang ada, yang dapat membatasi kemampuannya, fungsi intelijen sejak zaman dahulu kala telah telah diakui menduduki peran yang menentukan. Sun Tzu (250 s.Masehi) telah menetapkan adagiumnya yang terkenal “Ketahui musuhmu, dengan mengetahuinya sudah separuh dari kemenangan”.2)

Intelijen – Profesi untuk Hanya Seorang Klien

Intelijen memiliki watak sebagai a professional with one client --profesi yang mengabdi hanya kepada seorang klien. Istilah tersebut mencerminkan bukan sekedar keunikan intelijen, tetapi juga keterkaitan berbagai perannya dengan fungsi-fungsi dari sekuriti nasional. Paling tidak ada enam fungsi-fungsi yang mengalir dari aspek sekuriti nasional. Fungsi-fungsi dari sekuriti nasional itu adalah :
Membina kepastian hukum (legal surety);
Membina ketentraman dan ketertiban masyarakat (civil order);
Menegakkan hukum secara paksa (law enforcement);
Membangun kemampuan pertahanan (defence capability);
Melindungi masyarakat dari berbagai bencana, baik karena alam, kelainan, maupun kesengajaan (public safety from disasters); dan yang terakhir,
Memelihara keamanan negara (state security); yang masing-masing memiliki ciri-ciri masalah dan ancamannya sendiri-sendiri.3)

Karakterisasi ancaman menuntut adanya spesialisasi penanganan masing-masing. Spesialisasi intelijen terhadap fungsi-fungsi dari sekuriti nasional tersebut dimanifeskan ke dalam crime and law enforcement intelligence, yang dilaksanakan oleh badan intelijen kepolisian (seperti FBI, Spesial Branch, Intelpol, dsb). Fungsi berikutnya, yakni defence intelligence, dilaksanakan oleh badan badan intelijen pertahanan, mulai yang terbatas pada lingkup intelijen daerah pertempuran (combat intelligence) sampai kepada intelijen yang berlingkup strategis. Kemudian oleh berbagai intelijen yang ditujukan untuk melindungi masyarakat (intelligence for public protection) dari berbagai wujud bahaya yang tanggung-jawabnya dilaksanakan oleh departemen terkait (mulai dari lembaga pengawasan kegiatan vulkanologi, pengendalian banjir, penanggulangan kenakalan remaja, narkotika dan uang palsu, sampai kepada pengawasan lalu-lintas orang asing, dsb) serta untuk perlindungan kepentingan nasional yang lebih luas, yang mencangkup bidang politik, ekonomi, keuangan, sosial-budaya, serta keamanan sosial, yang dilaksanakan oleh badan-badan intelijen nasional (NIA, MI-6/5, BIN, dsb)Pertanyaan :
Berapa luas dan lingkup wewenang dan tanggung jawab dari BIN?
Apa saja fungsi dari BIN?

Meski ada spesialisasi pada berbagai badan intelijen untuk beragam kepentingan tersebut, sebagai realisasi fungsi-fungsi sekuriti nasional pada berbagai tingkat dan wujudnya, kepentingan-kepentingan ini tetap memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.

Oleh karena itu, peran dan fungsi koordinasi antar badan-badan intelijen yang ada itu tidak saja tidak boleh dinafikan, bahkan secara fungsional merupakan kebutuhan yang wajib dilakukan.

Hambatan dan kelemahan utama dari badan-badan intelijen justru terletak pada fungsi koordinasi ada take and give dan prinsip intelijen tentang pemberian informasi hanya kepada mereka yang memang mutlak harus tahu (need to know basis), turut mengendala proses koordinasi.

Masalah lain adalah menetapkan “siapa yang memang perlu tahu”. Kendala lain terhadap koordinasi, yang turut menentukan, lebih bersifat kultural, yaitu faktor subyektif dari badan-badan intelijen –persisnya tokoh-tokoh-- yang terlibat. Faktor gengsi misalnya.

Koordinasi adalah kegiatan tukar-menukar keterangan mengenai masalah-masalah yang “tidak jelas” atau “tidak diketahui” atau “perlu diketahui bersama”.

Sementara kaum intelijen adalah sosok yang acapkali harus menampilkan kesan yang serba tahu. Oleh karena itu untuk menghindari embarrassment akan hal semacam itu, banyak bos-bos intelijen yang sebenarnya memerlukan exchange of notes, konsultasi, atau koordinasi dalam rangka memerlukan informasi yang ada di tangan mereka, acap kali merasa enggan dan kalaupun terpaksa, cukup mengirim wakil dari eselon rendahan saja, yang biasanya tidak memiliki mandat untuk memutuskan sesuatu.

BIN yang di dalam fungsinya menyandang fungsi mengkoordinasikan kegiatan intelijen pada lingkup nasional dikabarkan mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi koordinasinya di antara badan-badan intelijen yang ada.

Pertanyaan : Apa kendala yang menyebabkan kesulitan dalam menjalankan fungsi koordinasi oleh BIN terhadap badan-badan intelijen lain?

Lalu, rivalitas (persaingan) yang inheren atau melekat di dalam tubuh berbagai badan-badan intelijen menjadi faktor lain lagi yang mengendala usaha koordinasi dan sinkronisasi dalam rangka mengefisienkan kegiatan badan intelijen yang ada.

Berbeda dengan kompetisi (yang juga berarti persaingan dalam bahasa indonesia), di mana di dalamnya perjuangan merebut prestasi dilaksanakan tanpa merugikan pihak-pihak yang bersaing, rivalitas adalah persaingan yang kadangkala tanpa perlu memperebutkan prestasi, justru bertujuan untuk menimbulkan kerugian pada pihak pesaing lainnya.

Rivalitas adalah permainan zero-sum-game. Keadaan yang merugikan ini bias bertambah parah bila penguasa politik menggunakan rivalitas itu untuk power balancing penguasa.

Ciri dari sistem demikian, berbagai kelompok kepentingan bertarung untuk memperebutkan kedekatan atau untuk memperoleh favorit dari penguasa.

Untuk beberapa waktu lamanya badan-badan intelijen di Indonesia, tanpa perkecualian, tidak lain hanyalah instrumen untuk mencapai kepentingan politik.

Badan inteljen yang bekerja secara professional untuk single client organization yang pernah ada adalah BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia), dari tahun 1945 sampai 1950.

Lembaga intelijen Indonesia yang pertama, Badan Istimewa BKR, disusun setelah selesainya penyelenggaraan Pendidikan Penyelidik Militer Khusus dibawah Letnan Kolonel Zoelkifli Loebis, yang menjadi kepala Tjabang Chusus (staf intelijen) BKR (Badan Keselamatan Rakyat).

Badan Istimewa BKR diresmikan pada tanggal 6 Oktober, 1945 di Cileungsi, Bogor, sehari setelah pemerintah meresmikan BKR sebagai badan keamanan dari Republik yang baru lahir.

Ketika ditanyakan tentang hal itu Zoelkifli Loebis menyatakan tidak ingat lagi kapan Badan Istimewa BKR itu diresmikan. “Saya tidak ingat tanggal pembentukannya. Yang jelas sesudah 17 Agustus 1945 dan sebelum 5 Oktober 1945,” ucap bapak intelijen Indonesia ini. 4)

Letnal Kolonel Zoelkifli Loebis merekrut 40 orang opsir PETA mantan lulusan Seinen Dojo (Pusat Pelatihan Pemuda), yang kemudian diikutkan dalam pelatihan intelijen oleh Zanchi Yugeki-tai (Satuan Intelijen Bala Tentara Ke-16) sebagai kader intelijen.

Latihan para kader intelijen itu hanya berlangsung tidak lebih dari seminggu lamanya, ditekankan terutama pada intelijen lapangan dan teritorial, seperti pengumpulan informasi militer, sabotase dan perang urat saraf.

Tenaga pelatihnya terdiri dari para perwira dari badan intelijen Jepang Sambobu Tokubetsu-han (Beppan), seperti Letnan Yanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan Yonemura dan seorang muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono, yang dikenal dekat dengan perwira-perwira BKR, Selain Zoelkifli Loebies sendiri yang pernah bertugas sebagai perwira intelijen di Singapura.5)

Ketika pusat pemerintahan publik dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, Badan Istimewa BKR diubah namanya menjadi BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia) yang secara administratif menginduk ke Kementerian Pertahanan dan secara operasional memiliki akses langsung kepada Panglima Besar Soedirman dan Presiden Soekarno.

Pemimpinnya tetap Zoelkifli Loebis. BRANI melanjutkan melakukan pelatihan terhadap beratus pemuda dalam rangka membentuk FP (Field Preparation).

Tugas FPI itu macam-macam, seperti sabotase, propaganda dan perang urat saraf, penggalangan perlawanan terhadap Belanda, menyusup ke daerah lawan, hingga penyelundupan senjata. “Pokoknya, kami ini intelijen tempur sekaligus teritorial” ujar Letnan Jendral Soetopo Joewono, mantan kepala BAKIN yang menjadi anggota BRANI.6)

Untuk mendukung kepentingan politik, misi BRANI kemudian tidak terbatas pada intelijen militer saja, tetapi diperluas kepada intelijen politik dan strategis.Pada masa Amir Sjarifoeddin menjadi perdana menteri pada April 1947 lembaga intelijen ini dirombak menjadi KP V (Kementerian Pertahanan V). Satuan-satuan intelijen yang berada di luar struktur militer, yakni yang berada di bawah kepolisian dan kejaksaan pada masa sebelum perang, dimasukkan kedalam jajaran kementerian pertahanan pada staf yang berbeda.

Seksi-A (bekas BRANI) diserahkan di bawah kepemimpinan Kolonel Abdoerahman, orang kepercayaan Amir Sjarifoeddin, sedangkan Zoelkifli Loebis menjadi wakilnya. Amir Sjarifoeddin dan Abdoerahman kemudian hari terlibat dalam Peristi Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948.

Setelah perang kemerdekaan usai, ketika Pemerintah Republik kembali ke Yogya, KP V dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk intelijen Kementerian Pertahanan (IKP).

Di bawah menteri pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dalam posisi sebagai kepala IKP, Zoelkifli Loebis membentuk BISAP (Biro Informasi Angkatan Perang), yang bertugas menyiapkan informasi strategis kepada menteri pertahanan dan pimpinan militer.

Setelah terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 IKP “digembosi”. Peran intelijen pada lingkup nasional dilakukan oleh SUAD-I. Pada tahun 1959 Presiden Soekarno membentuk sebuah badan intelijen baru di tingkat nasional, Badan Pusat Intelijen (BPI), yang dipimpin langsung oleh menteri luar negri Soebandrio.

Dibawah kepemimpinan Soebandrio, BPI dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh kaum komunis dan simpatisannya. BPI menyusup ke dalam Departemen Hankam, Komando-Komando Militer, dan badan-badan pemerintahan lainnya untuk tugas mengamati lawan-lawan politik Presiden Soekarno.

Untuk pertama kali sebuah badan intelijen seperti BPI secara sengaja diarahkan dan digunakan sebagai sebuah instrumen politik dengan tugas khusus untuk mengawasi dan menghabisi lawan-lawan pemerintah seperti yang lazim berlaku di negara-negara yang bercorak otoriter.

Dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno, dan bangkitnya Rezim Orde Baru pada tahun 1965, BPI dibubarkan.sebuah badan intelijen baru dibentuk, yaitu Komando Intelijen Nasional (KIN) pada tahun 1966, tetapi sebelum berusia setahun KIN dibubarkan dan digantikan oleh BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara) di bawah pimpinan Kolonel, kemudian Letnan Jenderal Yoga Sugama.

Presiden Soeharto tidak sepenuhnya percaya dan menyandarkan dirinya pada BAKIN. Ia membentuk sebuah jaringan Intelijen lain sebagai saingan BAKIN di bawah kendali mayor Jendral Ali Murtopo dengan Operasi Khusus (Opsus)-nya, di luar pengetahuan Bakin maupun staf intelijen Departemen Pertahanan Keamanan/Markas Besar ABRI, serta komando pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) yang ada pada waktu itu.

Dalam melaksanakan tugas intelijennya Ali Murtopo bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto. Selain itu di luar Opsus, Presiden Soeharto masih membentuk dan mengendalikan jaringan intelijennya sendiri.

Ali Moertopo merupakan tokoh kepercayaan Presiden Soeharto sejak tahun 1948. Ia adalah tokoh yang dikirimkan oleh Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad, pada tahun 1965, tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno, untuk menemui Des Alwi di Bangkok dalam rangka menjajagi kemungkinan mengakhiri ‘Konfrontasi’ dengan Malaysia.

Sejak saat itu Ali Moertopo dengan Opsus-nya ditugasi untuk menangani bidang-bidang khusus politik, diplomasi, dan bisnis, di bawah kendali langsung Presiden Soeharto.

Permainan yang dijalankan Ali Moertopo tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan tentara, yang dipresentasikan oleh Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, yang didukung oleh BAKIN.

Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh, baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.

Sesudah Peristiwa Malari Presiden Soeharto memanggil Brigadir Jenderal Benny Moerdani dari posnya di Seoul untuk menggantikan Ali Moertopo. Ia diangkat sebagai asisten intelijen Dephankam /ABRI, dan mengambil alih kepemimpinan CSIS dari tangan Ali Moertopo.

Pada waktu itu Pusintelstrat (Pusat Intelijen Strategis) yang berada di bawah kendali asisten intelijen Dephankam/ABRI, dan mengambil alih kepemimpinan CSIS dari tangan Ali Moertopo.

Pada waktu itu Pusintelstrat (Pusat Intelijen Strategis) yang berada dibawah kendali asisten intelijen Dephankam/ABRI, berfungsi hanya sebagai “lembaga pusat” dengan tugas pokok terbatas pada merumuskan doktrin dan menyelenggarakan latihan semata.

Jenderal Benny Moerdani tidak puas dengan hal itu, dan mereorganisasikan “tenaga pusat” itu menjadi sebuah ‘badan’ -agency- yakni BAIS (Badan Intelijen Strategis) ABRI dengan tugas-tugas yang sangat luas.

Di bawah kepemimpinan Jendral Benny Moerdani BAIS tidak saja merambah sampai kepada perumusan politik luar negeri (yang membuatnya tidak disenangi oleh kalangan Pejambon), tetapi terutama ia berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk memberikannya kewenangan melaksanakan sesuatu “operasi tertutup” melakukan invasi ke Timor Portugis pada tahun 1975.

Kegiatan operasi itu sedemikian tertutupnya sampai-sampai Menhankam/Pangab Jenderal Surono tidak mengetahuinya sampai detik-detik terakhir Hari–H serbuan, yang dengan sekaligus menandai berakhirnya peran Opsus yang masih melakukan kegiatan intelijen di timor portugis dengan nama sandi “Operasi Komodo”.Untuk “mensinergikan operasi-operasi intelijen” sesudah peristiwa Malari, Presiden Soeharto kemudian menempatkan Jenderal Benny Moerdani sebagai Waka BAKIN, di bawah Jenderal Yoga Sugama.

Berdalihkan bahwa BAKIN hanyalah sebuah “badan koordinasi”, maka struktur organisasinya “dilangsingkan” dengan menjadikannya sebuah organisasi yang tidak menjadi badan intelijen yang berfungsi melakukan operasional intelijen secara penuh. Tugas pokoknya lebih ditekankan pada koordinasi.

Barangkali karena alasan tersebut, ketika saya mengambil alih pimpinan BAKIN pada bulan April 1999, sarana operasional seperti untuk intelijen komunikasi-elektronika, dan organ untuk operasi lapangan tidak ada.

Fungsi komunikasi-elektronika diturunkan menjadi hanya sebuah seksi yang berada pada detasemen markas, yang bertugas untuk pelayanan internal. Karena tiadanya organ operasional lapangan, “laporan intelijen” yang saya terima dari staf, yang diharapkan berisi “analisis” dari intelijen matang, tidak lebih berupa guntingan dari berbagai koran nasional.

Sementara itu badan intelijen militer, BAIS, mengendalikan operasi dan kegiatannya mulai dari intelijen lapangan, teritorial dan intelijen strategis, dengan fokus terutama pada intelijen politik dalam negeri. Dalam melaksanakan tugasnya, kadang kala kegiatan intelijen merambah kepada bidang-bidang dan tindakan-tindakan yang dikemudian hari membuat nama “intel” tidak terlalu harum di masyarakat.

Intelijen- Kegiatan Mencari Jawaban Terbaik

Tadi di awal pembicaraan telah dikemukakan bahwa kegiatan intelijen terkait erat dengan proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, serta pengendalian hasilnya.

Keputusan yang baik ditentukan oleh tersedianya informasi yang benar, faktual, cermat, obyektif, lengkap, terkini, dapat tepat waktu. Dengan kata lain, intelijen adalah kegiatan mencari jawaban terbaik guna mendapatkan solusi terbaik.

Untuk memperoleh jawaban terbaik itu, maka pengorganisasian intelijen menuntut segala yang terbaik dalam segaenap aspeknya. Sulit untuk mendapatkan jawaban terbaik bila organisasi intelijen tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi dasarnya sekalipun, seperti contoh yang dialami oleh BAKIN tadi.

Organisasi intelijen tidak lain hanyalah sekedar sarana untuk menjalankan misinya. Misi organisasi intelijen, seperti organisasi-organisasi lainnya ditentukan lingkungan strategisnya, tugas utama dan khusus yang dipikulkan keatas pundaknya, serta tantangan yang sedang dan bakal dihadapinya.

Mengingat wataknya sebagai organisasi yang mengabdi hanya untuk seorang klien, badan intelijen harus tajam pada spesialisasinya. Organisasi yang terlampau luas dan lebar tanggung jawabnya dapat terjebak kedalam perangkap tahu sedikit tentang banyak hal.

Di bidang intelijen pertahanan konon banyak hal Indonesia masih perlu berbenah diri. Salah satu fungsi dari intelijen pertahanan, misalnya saja di bidang survaillance udara dan maritim, yang belum mampu kita tangani dengan memuaskan.

Beberapa kawasan Tanah Air, seperti Laut Natuna, Selat Malaka, Laut Sulawesi, serta laut-laut di kawasan timur Indonesia, tetap masih merupakan black areas untuk intelijen kita.

Bukan saja karena kawasan-kawasan tadi belum terliput secara penuh dan efektif oleh sistem jaringan kadar kita, juga kalaupun sarana deteksi tersebut tersedia, beberapa faktor baik jenis, kemampuan, dan usia sudah tidak lagi memenuhi kebutuhan sekarang.

Beberapa radar buatan Rusia yang sudah jompo tidak memiliki suku cadang lagi. Beberapa lagi, seperti radar Plessey dan Thomson tidak kompatibel satu sama lain, sehingga saling tidak mampu memberikan peringatan dini yang merupakan inti fungsinya suatu jaringan radar.

Padahal kemampuan peringatan dini dan deteksi dini dari sistem jaringan radar, baik di atas daratan maupun dibawah permukaan air, akan sangat menentukan kemampuan unsur-unsur surveillance udara dan maritim yang juga masih sanngat terbatas dalam jumlah, kekuatan, dan kemampuannya- dalam rangka membangun pagar pertahanan tanah air yang dapat diandalkan.

Jangan lupa, wilayah nusantara yang harus kita lindungi sekarang ini telah meningkat tiga kali lipat, dari yang semula hanya dua juta kilometer persegi kini menjadi enam juta kilometer persegi, sebagai akibat bertambah luasnya wilayah tanggung-jawab keamanan dengan kawasan zona ekonomi eksklusif.

Intelijen bukan hanya berurusan bagaimana mengamati partai-partai politik, tetapi juga bagaimana harus mampu menegakkan hak-hak kedaulatan nasional di lautan dari pelanggaran lalu-lintas ilegal, penyelundupan dan kejahatan di laut, termasuk antara lain pencurian kekayaan laut yang kini telah mencapai triliunan rupiah, maupun ancaman penggerogotan terhadap garis-garis batas nasional.

Lautan telah menjadi frontier baru yang menuntut perhatian, karena berkaitan dengan bukan hanya hari ini, tetapi masa depan anak-cucu kita.

Sementara itu negeri ini terbuka telanjang oleh pengamatan pihak-pihak lain melalui geo-stationary orbiting surveillance satellite yang diperlengkapi baik dengan alat pendengar elektronika serta thermal dan satelit fotografik, yang mampu mengamati, menyadap berita, dan memotret sampai detil mulai dari nomor kendaraan pasukan darat, di nomor lambung kapal-kapal yang ada di permukaan laut, jumlah dan jenis pesawat yang masih air serviceable, sampai pada semua pergerakan latihan maupun operasi pasukan-pasukan darat, laut dan udara, mulai dari Aceh, sampai dengan Papua.

Kesibukan badan-badan intelijen dengan politicking selama ini telah menjadikannya alpa membangun intelijen pertahanan yang akhirnya akan menentukan kemampuan kita mempertahankan dan melindungi segenap rakyat Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia dengan sebaik-baiknya.

Keterbatasan kemampuan udara strategis serta telekomunikasi elektronika sangat menghambat kemampuan intelijen strategis di lapangan.

Pekerjaan tersebut selama ini terbatas dilakukan secara terbuka oleh para petugas di perwakilan-perwakilan di luar negeri. Tetapi bila saatnya mengharuskan untuk melakukan pengumpulan keterangan secara senyap di daerah yang bermusuhan, maka kemampuan itu patut dipertanyakan. Barangkali unsur intelijen strategis masih mampu melaksanakan misi infiltrasi, tetapi pekerjaan eksfiltrasi terhadap pasukan tersebut setelah misi berakhir masih merupakan tanda tanya besar.

Apresiasi intelijen yang menyatakan dalam tempo sepuluh tahun ke depan tidak akan ada perang sungguh telah menina-bobokkan kita. Bahwasanya contoh-contoh tentang pecahnya perang dadakan seperti di Falkland, Afganistan, Teluk, dan sebagainya, seharusnya tidak mengizinkan suatu angkatan perang alpa dalam mempersiapkan dirinya.

Bukankah, si vis pacem para bellum. Titik-titik ledak yang eksplosif berada di tepian Pasifik, seperti semenanjung Korea, kepulauan Daoyu-tai, selat Taiwan, sengketa di pulau-pulau atol Spratley, dan sebagainya, bisa saja terjadi peluberan, karena hampir semuanya berbatasan langsung dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia yang menempati posisi silang.

Pertanyaan :
1. Apakah BIN ada menjalin kerja-sama dengan badan-badan intelijen asing untuk mengatasi kekurangan sarana surveillance tersebut di atas?

2. Dengan badan-badan intelijen asing siapa saja dan dalam bidang apa saja?

Menurut informasi alat informasi pada camera-recorder imigrasi di Bandara Cengkareng dipasok oleh pihak Amerika Serikat, dengan catatan mereka berhak menerima hasil pengamatan lalu-lintas orang di Bandara kita.

Apa bentuk kerja-sama BIN dengan badan-badan intelijen asing tersebut dalam “pemberantasan terorisme” di Indonesia, serta peran dari badan-badan intelijen asing tersebut di Indonesia? DASAR-DASAR INTELIJEN (BAGIAN 2-SELESAI)
Oleh : Letjend (Purn) Z.A. Maulani
(Mantan Kepala BAKIN)
Tugas Intelijen adalah Pengabdian Mutlak Tanpa Pamrih

Kemampuan dan kualitas kinerja intelijen ditentukan oleh kehandalan dan kualitas dari sistem pendidikan dan pelatihan yang merupakan wujud upaya untuk menjadikan seseorang cakap dan matang melalui pembekalan kemampuan profesional dan pemberian pengalaman secara sistematik.


Pertanyaan :

Untuk menjadikan BIN sebuah lembaga intelijen yang profesional dengan kinerja yang profesional, bagaimana sistem rekrutmen calon-calon petugas intelijen kita?

Sisi kedua adalah efisiensi sistem pembinaan karier yang memungkinkan seseorang menjadi matang melalui pemberian pengalaman yang sistematik. Para master-spy dunia yang ada pada awalnya terbentuk dari para cantrik (apprentice).

Melalui kedua sistem tersebut yang dibina secara serasi, bertahap dan berlanjut, para cantrik intelijen yang semula masih hijau dibangun keterampilan, kepercayaan diri, kemampuan, dan kepemimpinannya, dengan rajutan antara pelatihan kejuruan dan keahlian berbagai lika-liku seni intelijen dengan penugasan, dari tugas magang, tugas lapangan (field operative), lalu agen handler, kemudian middle analyst, sampai kepada senior analyst. Hasil dari itu semua akan melahirkan master-spy.


Pertanyaan :

Bagaimana sitem pendidikan dan pelatihan professional baik yang berupa ‘in-house’ maupun ‘out-house training’ ?

Bagaimana pola ‘tour of area’ dan tour of duty’ (mutasi dan promosi) para pejabat BIN ?

Akibat iklim politik yang serba tidak menentu, bidang pembinaan karier kepegawaiaan yang belum mengacu kepada prestasi, yang juga berlaku pada aparat intelejen, telah mengendala kaidah itu.

Para petugas dan pejabat intelejen, terutama yang berasal dengan latar belakang non militer berdasarkan ketentuan pemerintah harus mengikuti ‘pendidikan karier berjenjang regular pegawai negeri, seperti SPAMA, SPAMEN, dan SPATI, untuk mendapatkan kenaikan jabatan yang mengandung juga kenaikan tanggung jawab, sementara sebagaimana dimaklumi, sistem pendidikan karier pegawai negeri tersebut tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan peningkatan keterampilan profesionalisme intelijen yang seharusnya mereka peroleh dalam sistem pendidikan karir mereka.

Sebaliknya, in-house training yang dilakukan oleh lembaga intelijen selama ini di bidang tradecrafts mereka ternyata tidak memiliki efek karier, belum mendapatkan pengakuan dari badan administrasi pembinaan kepegawaian negara, BAKN, kecuali sekedar sebagai credit points semata.



Sosok Intelijen

Bagian terpenting dari rangkaian pembinaan sumber-daya manusia untuk menjadikan seseorang sisik intelijen dalam rajutan pembinaan pendidikan dan pembinaan karier atas tadi bermula pada tahapan awal, yaitu recruitment.

Kekeliruan pada tahapan awal ini akan berdampak panjang. Pencarian bibit (talent-scouting) menjadi pengalaman penting dari usaha recruitment.

Dari sederet panjang tuntutan yang mutlak ada pada tiap calon rekrut ialah integritas pribadi, loyalitas dan kemampuan profesional (professional competence).

Integritas pribadi merefleksikan sosok seorang yang jujur, dapat dihandalkan, satu kata dengan perbuatan, memikiki keberanian moral, adil dan bijaksana.

Kesemuanya mutlak diperlukan, mengingat pekerjaan intelijen akan lebih banyak dilaksanakan dengan mengandalkan pribadi demi pribadi.

Pengetahuan, analisis, dan laporan dari seorang sosok intelijen akan sangat tergantung pada judgement dari pribadi yang bersangkutan. Dengan kata lain, keberanian mengambil keputusan pada saat-saat kritis yang terkait erat dengan integritas pribadi seseorang.

Loyalitas menjadi tuntutan mutlak yang kedua. Loyalitas, atau kesetiaan, mengandung keteguhan akan komitmen seseorang kepada misi yang diembannya, kepada etika profesinya, kepada organisasinya, dan terutama kepada bangsa dan negaranya, diatas segala-galanya tanpa pamrih.

Sosok dan lembaga intelijen tidak boleh menyimpangkan kesetiaannya kepada kelompok atau golongan, atau kepentingan-kepentingan sempit di luar kepentingan nasional.


Pertanyaan : Bagaimana mengawasi loyalitas para petugas intelijen dalam tugasnya kepada misinya dan sumpahnya?


Pengalaman keterlibatan badan-badan intelijen di masa silam dalam konflik-konflik yang bernuansa kepentingan kelompok dan politik aliran dari sejak awal sejarah republik sebagaimana dituturkan pada riwayat lembaga BRANI, KP V, PBI dan sebagainya, cukup menjadi pelajaran yang telah menorehkan trauma ke dalam tubuh bangsa, yang telah menjadikan badan-badan intelijen kita tidak terlepas dari trauma masa lalu, di mana sosok intelijen kerap cenderung memperlihatkan subjektifitas politik alirannya, primordialisme yang kental, sehingga tidak dapat menghindari diri dari perlibatan dengan kegiatan politicking dalam politik praktis.

BIN sebagai badan koordinasi intelijen negara, tidak peduli siapa pun yang memimpin dan kapan pun, pada dasarnya harus senantiasa terikat kepada misinya, yaitu menyampaikan informasi yang objektif dan faktual --pertimbangan tentang apa yang sepatutnya dilakukan atau tidak dilakukan-- kepada presiden/kepala negara dalam rangka mengamankan segala upaya untuk “melindungi segenap rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahterahan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan keterlibatan dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”


Pertanyaan : Bagaimana usaha Kepala BIN untuk menjamin agar badan-badan intelijen kita, khususnya BIN, tidak menjalankan politik kelompok, politik aliran dan atau primodialisme, yang selama ini telah menjadi trauma besar di kalangan masyarakat Indonesia?

Kemampuan profesional menjadi syarat mutlak ketiga menuju terbinanya sosok intelijen yang profesional. Professionalisme tidak terbatas hanya pada penguasaan teknis dari trade-craft intelijen.

Di dalamnya terkandung kewajiban dan kemampuan untuk menegakkan etika profesi yang menjadikan intelijen menjadi profesi yang disegani dan terhormat, bukan pekerjaan yang menimbulkan rasa takut dan jijik.

Profesionalisme menuntut dalam kegiatan intelijen penghormatan kepada hukum dan ketentuan yang berlaku, hak-hak asasi manusia, nilai-nilai budaya yang ada, karena negara yang kita impikan bukanlah negara polisi (police state) atau negara kekuasaan (machts staat) yang kekuasaannya didukung oleh polisi rahasia semacam Kempetai, Gestapo, GRU, atau Stazei.

Badan-badan intelijen fungsional, diharapkan oleh rakyat agar “berhenti melakukan hal-ihwal di luar fungsi dan misi intelijen, dan terutama dengan kegiatan yang menzalimi rakyat.”

Jangan sampai berlaku pemeo, “sukses di semua bidang, terkecuali di bidang intelijen.”

(Catatan : Oleh karena itu dalam upaya melakukan profesionalisasi sosok intelijen, dalam rekrutmen calon petugas intelijen di luar tiga tuntutan dan persyaratan tersebut diatas, badan-badan intelijen strategis mensyaratkan tenaga didik serendah-rendahnya strata-1; berkepribadian hangat dan menyenangkan-bukan yang berpenampilan sangar; mudah dan enak bergaul dalam berbagai lingkungan ; menguasai paling tidak satu bahasa asing, yaitu bahasa inggris, dengan fasih; mampu membangun struktur berpikir logis dan analitik; serta mampu menyampaikannya secara jernih baik secara lisan maupun tertulis).


Menengok perkembangan intelijen ke belakang dan memandang gelagat perkembangan lingkungan dalam dan luar negeri ke masa depan, usaha untuk melakukan reposisi kedudukan dan peran intelijen dalam kehidupan negara merupakan langkah yang perlu dan harus diambil, dengan secara jujur berusaha menarik pelajaran dari masa lampau serta dari kekurangan-kekurangan objektif yang masih ada di masa kini.

Acuan missi intelijen di masa depan harus terkait dengan usaha untuk mendukung komitmen bangsa, yaitu turut mengamankan terbentuknya,
1) masyarakat madani yang demokratik;

2) yang menghormati supremasi hukum;

3) mendukung terbentuknya pemerintahan yang bersih;

4) serta menjunjung tinggi pluralitas bangsa dalam wujud penghormatan kepada perbedaan dengan tetap berada dalam pigura Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pertanyaan :
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, apakah Saudara Kepala BIN sepakat akan perlunya melegislasikan suatu ‘Undang-undang tentang Intelijen’, yang isinya menetapkan secara tegas tugas pokoknya (‘mission’), fungsi-fungsinya, bidang-bidang yang menjadi lahan garapannya, jenis tugas (‘tasks’) agar badan-badan intelijen kita tidak terjebak menjadi “polisi rahasia” yang bertentangan secara mendasar dengan prinsip negara kita sebagai negara hukum (‘recht-staat’); undang-undang itu perlu menetapkan kepada siapa ia bertanggung-jawab, bagaimana hubungannya dengan DPR, dari mana sumber alokasi anggaran belanja bagi lembaga intelijen, dan hal-ihwal yang berkaitan dengan tanggung-jawab administratif badan-badan intelijen.

Tantangan Baru – Cakrawala Baru

Tantangan masa depan bukan hanya berwujud ancaman fisik. Runtuhnya Tembok Berlin pada 1985 bukan hanya meniadakan dua kubu yang bersaing, yang nyaris akan meluluh-lantakkan dunia.

Berakhirnya Perang Dingin dengan kemenangan blok Barat telah membuka pintu bendungan yang tak tertahankan, munculnya suatu fenomena baru, yakni globalisasi.

Globalisasi, atau proses pensejagatan, terjadi berkat berlangsungnya revolusi dahsyat di bidang teknologi transportasi, telekomunikasi, dan informasi.

Revolusi tersebut telah mengubah secara total konsep tentang ruang dan waktu. Dunia dibuatnya makin menciut. Kenichi Ohmae menyebutnya –a new borderless world– suatu dunia yang tidak lagi mengenal tapal-batas.

Tanpa tapal-batas gelombang informasi dalam era globalisasi mendorong proses uniformisasi umat manusia. Uniformisasi itu terutama berkiprah dalam visi dan aspirasi, seperti tampak pada gerakan perjuangan untuk menghormati hak-hak asasi manusia, demokratisasi, hidup yang lebih ramah lingkungan.

Terhadap gejala uniformisasi tampak gerakan regionalisme yang kini tumbuh bak cendawan di musim hujan dan kian menguat, di Amerika Utara, Eropa, dan Asia (Timur, termasuk Tenggara), serta munculnya entitas non-negara yang ditujukan untuk kerja-sama ekonomi seperti WTO, APEC, ASEM, dan sebagainya.

Gejala yang memerlukan kewaspadaan dalam uniformisasi ini ialah terbentuknya entitas non-negara, di mana yang terpenting adalah menguatnya kesadaran kesetia-kawanan diaspora etnis Cina secara mondial maupun regional, yang kini bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia yang harus diperhitungkan.

Di negara-negara tepian Pasifik, di luar RRC dan Taiwan, jumlah etnis Cina yang hanya 25 juta jiwa memiliki pendapatan 30 triliun dolar setahun, yang berarti delapan kali lipat GDP Cina Daratan yang berpenduduk 1,3 milyar jiwa.

Jaringan etnis Cina perantauan tersebut sangat rumit, terdiri dari jaringan-di-dalam-jaringan, baik jaringan berdasarkan she (marga), perkongsian, maupun negara, dimana mereka bertempat tinggal, yang terkait rumit satu dengan yang lain.

Sudono Salim masih salah seorang ketua organisasi dari she Lim sedunia. Bersama-sama dengan Mochtar Riyadi keduanya menjadi anggota dewan penasehat dari perhimpunan etnis Cina perantauan sedunia yang bermarkas-besar di Chinese Heritage Center Singapura.

Dalam hubungan ini Lee Kuan Yew, menteri senior Singapura, dan para pemimpin Singapura, mengidap impian menjadikan Singapura sebagai ibukota para Hoa Xiao di dunia.

Ketika terjadi Tragedi Mei 1998 menjelang tumbangnya Presiden Suharto, kerusuhan besar yang menimpa etnik-Cina di Jakarta, adalah Singapura yang paling kencang suaranya mengecam Indonesia dalam rangka memberikan kesan Singapura sebagai negara yang paling peduli dengan nasib etnik Cina Hoa Xiao.

Lalu apa kaitannya dengan solidaritas diaspora etnis Cina ini?
Kekuatan duit mereka. Siapa saja yang ingin berpolitik butuh duit. Tetapi juga sebaliknya, duit menjadi basis dari kekuatan politik.

Artinya, sewaktu-waktu kepentingan ekonomi dan atau keuangan dari kelompok etnis Cina perantauan terancam di salah satu atau beberapa negara klien, sudah dapat dipastikan akan ada reaksi berupa ramifikasi politik.

Terpuruknya moneter, ambruknya perbankan, dan rusaknya ekonomi Indonesia, merupakan salah satu contoh dari kekuatan sistem senjata ekonomi.

Tumbangnya rejim Orde Baru bukan karena ada divisi berlapis-baja menggelinding di jalan-jalan Thamrin atau Sudirman di Jakarta, atau penerjunan pasukan payung di lapangan Monas, atau berjatuhannya peluru-kendali di Cilangkap.

Presiden Soeharto tumbang karena jatuhnya nilai rupiah, yang membuka pintu kepada krisis moneter dan kemudian ekonomi yang akut.

Minat intelijen nasional harus disesuaikan dan dilebarkan antara lain dengan adanya tantangan berupa ancaman baru tersebut.

Duit juga menjadi faktor kuat yang mempengaruhi perumusan kebijakan nasional.

Dalam hal ini contoh konkrit adalah ketika melalui tokoh-tokoh Hoa Xiao seperti Tong Joe, Tommy Winata, dan James Riyadi, Presiden Megawati mengeluarkan kebijakan R & D (Release and Discharge), kepada para obligor yang pada umumnya adalah konglomerat keturunan Cina yang melarikan diri ke Singapura, pembebasan dari kewajiban mengembalikan hutang-hutang mereka yang mencapai angka sampai 170 trilyun rupiah yang berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) bermasalah.

Bersama dengan penjualan Indosat kepada Singapura Telecommunications (sekarang QTEL. red), dan keputusan untuk menaikkan tarif bahan bakar minyak (BBM), listrik dan telepon, kesemuanya telah menjadi pemantik demonstrasi-demonstrasi besar-besaran yang dilancarkan oleh mahasiswa, pemuda, buruh, pengusaha, kaum miskin dan ibu-ibu rumah tangga di Jakarta pada awal Januari 2003.

Kemudian masalah lain yang memerlukan perhatian adalah runtuhnya imperium Uni Sovyet pada tahun 1989 yang telah menampilkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya super-power di dunia.

Menanggapi peristiwa tersebut Amerika Serikat telah memutuskan untuk mempertahankan dan meningkatkan peran tersebut sebagai pemimpin dunia yang dipandangnya “lebih efektif ketimbang pemimpin Perserikatan Bangsa-bangsa.”

Untuk itu, berdasarkan doktrin Bush yang disampaikan di depan kongres Amerika Serikat pada tanggal 20 september 2002, di dalam dokumen sebanyak 31 halaman derngan berjudul “The National Security Strategy of United States of Amerika”, Amerika Serikat harus meningkatkan upaya untuk memperluas kehadiran militer Amerika Serikat ke seluruh kawasan Eropa dan Asia, dengan membangun pangkalan yang semula hanya ada di 120 negara, diperluas menjadi 160 negara, untuk menjamin kedudukan dan peran White Americana, perannya sebagai pemelihara perdamaian dunia di bawah kekuaaan Amerika Serikat untul mengamankan kepentingan itu Amerika Serikat membentuk sebuah organisasi super-intelligence bernama ‘Proaktive Pre-Empitiv Organization Group’ (P2OG), dengan tugas melakukan operasi-operasi intelijen atas dasar ‘Pukul dahulu urusan belakang’.

Prinsip ini sesuai dengan ancaman presiden Bush kepada semua negara, “if you’re not with us, you’re against us” (kalau tidak mendukung kami, anda adalah musuh kami).

Serangan Bom Bali pada 12 Oktober 2002 dan Makasar pada 6 Desember 2002 merupakan bentuk dari kampanye intelijen proactive yang baru dari Amerika Serikat sebagaimana kata Menteri Pertahanan Donald Rumfield operasi semacam itu berjuang untuk memancing keluarnya ”tikus-tikus muslim radikal dari sarangnya.”
 
Sejak dulu, beredar rumor di kalangan penganut teori konspirasi bahwa kelompok iluminati memiliki rencana untuk mengurangi populasi dunia dengan cara apapun. Namun kali ini, sebuah perkumpulan rahasia Cina yang memiliki 6 juta anggota dan 100.000 pembunuh profesional mengeluarkan ancaman akan menghabisi iluminati jika mereka terus melanjutkan rencana tersebut.

Kisah ini diceritakan oleh Benjamin Fulford, 46 tahun, mantan kepala biro majalah Forbes wilayah Asia Pasifik. Ia juga sudah menulis 15 buku berbahasa Jepang.

Menurut Fulford, perkumpulan rahasia itu bernama "The Green and the Red Societies". Mereka menghubungi Fulford ketika ia sedang berceramah mengenai rencana Iluminati untuk mengurangi populasi ras Asia hingga tinggal 500 juta saja dengan senjata biologi.
Picture

Kali ini, saya tidak bermaksud untuk membahas soal teori Fulford yang memang beredar di kalangan penganut teori konspirasi atau membahas soal iluminati yang setengah mitos itu.

Namun sepertinya menarik untuk melihat sedikit mengenai The Green and The Red Societies karena perkumpulan ini susungguhnya memang ada dan merupakan bagian dari sejarah Cina.

Kekuatan apakah yang dimiliki oleh perkumpulan ini sehingga mereka berani mengeluarkan ancaman seperti itu ?

Sama seperti perkumpulan rahasia lainnya, perkumpulan ini juga memiliki sejarah yang sangat tua.

Seperti yang kita ketahui, bangsa Manchu berhasil menginvasi Cina pada tahun 1644 dan menggulingkan dinasti Ming yang telah berusia 276 tahun. Lalu bangsa Manchu mendirikan Dinasti Qing. Kita bisa mengenal dinasti ini dari ciri-ciri rambut prianya yang setengah botak dan dijalin (seperti Wong Fei Hung misalnya).

Sebagian pasukan dinasti Ming yang dikalahkan kemudian menyingkir dan membentuk perkumpulan bawah tanah yang bertujuan untuk menggulingkan dinasti Qing dan memulihkan kembali dinasti Ming. Namun sepak terjang perkumpulan ini tidak begitu terdengar hingga akhir abad ke-19.

Pada tahun 1898, Cina kembali bergolak dengan terjadinya pemberontakan Boxer yang terdiri dari kumpulan para ahli kungfu untuk mengusir imperialisme asing dari Cina.

Pemberontakan ini disebut sebagai salah satu pemberontakan paling berdarah di Cina. Dalam masa tiga tahun terjadinya pemberontakan ini, hampir 20.000 orang asing dan orang kristen Cina dibantai secara brutal. The Green and the Red Societies disebut ikut mendukung para Boxer secara diam-diam.
Pada tahun 1901, pemberontakan ini akhirnya berhasil ditaklukkan oleh pasukan gabungan dari delapan negara.